Sabtu, 11 Agustus 2012

SKM sebagai kepala puskesmas : sebuah wacana kompetensi

     oleh : Nuzulul Kusuma Putri

     Salah satu point penting dalam SK Menkes no. 128 tahun 2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat adalah kepala puskesmas dipersyaratkan harus seorang sarjana di bidang kesehatan yang kurikulum pendidikannya mencakup kesehatan masyarakat dan menempati eselon III B.


 
Organisasi dan Tatalaksana Puskesmas
       Puskesmas adalah unit pelaksanaan teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota  yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah. Visi yang dimiliki oleh Puskesmas adalah tercapainya kecamatan sehat menuju terwujudnya Indonesia Sehat 2010. Masyarakat hidup dalam lingkungan  dan perilaku sehat memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata sehingga mampu untuk memiliki derajat kesehatan yang setinggi- tingginya.
      Indikator pencapaian yang digunakan untuk mengukur visi ini antara lain lingkungan sehat, perilaku sehat, cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu, serta derajad kesehatan penduduk kecamatan yang optimal. Konsekuensinya, upaya pelayanan kesehatan di  Puskesmas tidak hanya dalam hal pengobatan (kuratif) tetapi juga meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
      Dengan menilik fungsi puskesmas tersebut, terlihat bahwa peran Puskesmas di luar gedung lebih besar dibandingkan di dalam gedung. Puskesmas perlu lebih banyak melakukan pemantauan pembangunan berwawasan kesehatan. Hal ini dibutuhkan agar masyarakat memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan melayani diri sendiri untuk sehat serta berperan aktif dalam pelaksanaan program kesehatan. Kegiatan Puskesmas yang ada di dalam gedung hanya terfokus pada upaya pengobatan. Upaya pengobatan dalam jangka panjang kurang menguntungkan karena biaya untuk pengobatan semakin lama semakin meningkat. Adanya fungsi puskesmas yang lebih terfokus pada kegiatan di luar gedung dari pada di dalam gedung ini, menyebabkan perlu adanya sistem manajemen yang baik terutama dalam bidang manajemen kesehatan masyarakat.
     Kompleksnya upaya pelayanan kesehatan yang ada di Puskesmas menuntut adanya sebuah sistem manajemen Puskesmas yang baik meliputi perencanaan, penggerakan, pelaksanaan dan pengawasan, pengendalian dan penilaian. Namun perlu diingat bahwa manajemen merupakan sebuah ilmu dan seni sehingga seorang kepala Puskesmas dituntut untuk memiliki ilmu manajerial dan kemampuan mengoptimalkan ilmu itu yang dalam hal ini berada dalam konteks kesehatan.

Kompetensi Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
        Berdasarkan penjelasan di atas, tenaga Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) baik strata satu maupun strata dua adalah salah satu tenaga di bidang kesehatan yang memiliki ilmu manajemen yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat. Ditinjau dari kurikulum pendidikan Fakultas Kesehatan Masyarakat, maka kompetensi sarjana kesehatan masyarakat khususnya jurusan administrasi kebijakan kesehatan, dalam kaitannya dengan manajemen puskesmas sudah memadai.
           Seorang calon sarjana kesehatan masyarakat harus mampu menyelesaikan mata kuliah organisasi, manajemen, perencanaan dan evaluasi , pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, manajemen strategik kesehatan masyarakat, manajemen data, ekonomi kesehatan, kepemimpinan,promosi dan pendidikan kesehatan, sosio antropologi kesehatan, komunikasi kesehatan, etika dan hukum kesehatan  serta sistem informasi kesehatan.
           Saat ini Puskesmas lebih banyak dipimpin bukan oleh sarjana kesehatan masyarakat, Puskesmas lebih banyak dipimpin oleh tenaga medis dokter maupun dokter gigi. Kompetensi dokter dan dokter gigi sebagai kepala Puskesmas merupakan sebuah over qualified competence. Karena untuk menjadi seorang administrator tidak perlu belajar anatomi, biokimia dan ilmu bedah. Keterampilan dokter jauh lebih bermanfaat untuk clinical care. Meskipun sebagian besar pendidikan dokter memasukkan mata kuliah manajemen program kesehatan masyarakat (lebih kurang untuk kegiatan pelayanan di Puskesmas).
             Sebuah penelitian telah dilakukan di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah tentang perbedaan fungsi manajemen antara Puskesmas yang dikepalai oleh SKM dan non SKM. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan fungsi perencanaan, fungsi koordinasi, fungsi penggerakan, fungsi evaluasi, serta angka cakupan program kesehatan pada Puskesmas yang dikepalai oleh SKM dan Non SKM di Kabupaten Grobogan tahun 2007. Kabupaten Grobogan  memiliki tiga puluh Puskesmas, lima Puskesmas di antaranya dikepalai oleh SKM, empat Puskesmas dikepalai oleh dokter gigi, dan 21 Puskesmas dikepalai oleh dokter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan fungsi manajemen antara Puskesmas yang dikepalai oleh SKM dan Non SKM pada program kesehatan di Kabupaten Grobogan tahun 2007.
            Dari perbandingan kurikulum pendidikan antara SKM dan dokter, terlihat seorang sarjana kesehatan masyarakat lebih memiliki keahlian yang diharapkan untuk dapat menjalankan tugasnya sebagai seorang pemimpin Puskesmas. Hal ini karena seorang pemimpin Puskesmas harus mampu merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan dan mengevaluasi kegiatan manajemen Puskesmas. Namun, keberhasilan kepemimpinan Puskesmas oleh seorang sarjana kesehatan masyarakat berpulang kembali kepada kecerdasan orang tersebut untuk mengaplikasikan ilmunya di Puskesmas. Dengan dasar tersebut, seorang pemimpin puskesmas dibutuhkan dari seorang yang telah menduduki eselon III B dengan harapan orang tersebut telah banyak pengalaman dalam pekerjaannya.
            Faktor pengalaman lapangan yang selama ini banyak diperdebatkan memang lebih menguntungkan dokter dan dokter gigi. Kementerian Kesehatan mewajibkan dokter yang baru lulus melaksanakan praktik selama satu tahun di Puskesmas dan rumah sakit. Dengan pengaturan penempatan, nantinya dokter itu akan ditempatkan di Puskesmas selama empat bulan dan di rumah sakit selama delapan bulan. Persyaratan yang diatur dalam peraturan Menteri Kesehatan ini menjadi salah satu syarat memperoleh surat tanda registrasi (STR) yang harus dimiliki dokter agar bisa berpraktik. Keuntungan dari program ini bagi dokter adalah menambah pengalaman, meningkatkan ketrampilan dokter, sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan masyarakat.
          Pendidikan sarjana kesehatan masyarakat sendiri telah memberikan bekal pengalaman bagi sarjananya melalui program magang dan belajar lapangan di instansi kesehatan di Puskesmas. Namun durasi waktunya lebih pendek daripada program magang dokter dan dokter gigi (hanya sekitar dua bulan). Job description mahasiswa magang pun masih belum jelas. Jika dokter dan dokter gigi telah memiliki program yang jelas dengan program kedokteran komunitas,   mahasiswa kesehatan masyarakat yang magang tugasnya masih belum jelas. Banyak di antara mahasiswa magang hanya diminta untuk terlibat dalam pelayanan loket. Sehingga kesempatan dalam ikut serta dan belajar langsung tentang manajemen Puskesmas masih belum optimal.

Masih Wacana Efisiensi Dokter Bukan Wacana Kompetensi SKM
                Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Kesehatan mengungkapkan bahwa saat ini dari 8.000-an Puskesmas di Indonesia, sekitar 30% belum memiliki dokter. Kenyataan bahwa disfungsi dokter menjadi kepala Puskesmas dapat mengganggu fungsi puskesmas yang sesungguhnya. Perawat menjalankan praktek pengobatan di Puskesmas dan dokter jadi pengawas dan administrator. Jika dokter mampu untuk menjadi pengawas yang efektif mungkin tidak masalah. Tetapi sedikit sekali fakta yang menunjukkan ada suatu mekanisme dalam pengawasan praktek klinik perawat. Ini tidak menyampingkan bahwa perawat pun sebetulnya ada yang berpraktek secara rasional. Hal ini menunjukkan adanya tumpang tindih job description yang ada di Puskesmas.
            Ketua IDI wilayah DKI Jakarta, menyatakan bahwa harus ada kejelasan pada tugas profesi dokter di Puskesmas. Tugas dokter di Puskesmas saat ini tidak cocok dengan apa yang seharusnya dilakukan seorang dokter. Karena, dokter jadi lebih disibukkan oleh tugas manajerial dan jabatannya sebagai pejabat
kecamatan. Ketidakjelasan tugas tersebut jelas akan mempengaruhi kinerja dokter Puskesmas. Beberapa studi tentang hal ini telah dilakukan dan hasilnya menunjukkan hal yang sama. Tingkat kehadiran dokter yang rendah hingga program Puskesmas yang tidak berjalan. Namun tidak semua dapat dipukul rata karena di lain pihak banyak juga kinerja dokter Puskesmas yang tinggi walaupun harus merangkap jabatan struktural sebagai kepala Puskesmas.
             Wacana lain yang sering muncul dalam diskusi kepemimpinan Puskesmas adalah jika Puskesmas dijabat seorang sarjana kesehatan masyarakat akan lebih menguntungkan karena frekuensi kepindahan tidak terlalu cepat bila dibandingkan dokter yang frekuensi kepindahannya lebih cepat mengikuti perannya sebagai dokter yang perlu mengambil pendidikan dokter spesialis. Wacana SKM menjadi kepala Puskesmas juga muncul karena dokter dianggap terlalu over-qualified dalam menjalankan Puskesmas. Untuk menjadi administrator tidak perlu belajar anatomi, biokimia dan ilmu bedah. Keterampilan dokter dianggap akan jauh lebih bermanfaat untuk clinical care.
             Dari penjelasan tersebut, terkesan masih mengganggap SKM sebagai warga kelas dua setelah dokter dalam menjadi kepala Puskesmas. Alasan yang utama masih mengakar pada dokter. Tentang dokter yang masih dibutuhkan oleh pasien, tentang dokter yang jumlahnya terbatas, atau bahkan karena dokter yang memiliki mobilitas tinggi. Alasan munculnya wacana SKM menjadi kepala Puskesmas masih belum menyentuh core utama efektivitas kompetensi  SKM. Belum pada market trust terhadap kemampuan SKM menjalankan manajerial kesehatan.
         SKM masih dianggap terlalu generalis karena studi administrasi kesehatan hanya satu bagian kecil dari pelajaran mereka. Kemapuan manajemen SKM juga selalu ditantang oleh kenyataan rumitnya masalah pelayanan kesehatan yang pada dasarnya dikuasai oleh dokter dan perawat. Meskipun secara teoritis, administrator bisa saja membawahi orang yang lebih tinggi tingkat pendidikannya, tetapi bisa ada semacam hambatan psikologis untuk mengendalikan mereka.

Solusi yang Ditawarkan
             Harus ada kejelasan tentang prospek jenjang karir sarjana kesehatan masyarakat. Stakeholder yang terkait harus menyadari ke arah mana SKM akan dikembangkan. Bila memang SKM diniati untuk bisa mengisi jabatan top management Puskesmas atau rumah sakit, maka mahasiswa kesehatan masyarakat dengan kualifikasi dan kompetensi macam apa yang berhak menduduki jabatan tersebut. Untuk lebih memantapkan kompetensinya, SKM harus dibekali  secara detail baik teori maupun praktek tentang total quality management of primary care sebagai ciri khas spesifik SKM dengan dokter.   Atau jika diperlukan adalah dengan membuat sebuah jenjang keprofesian SKM agar tidak dianggap sebagai bidang ilmu yang generalis.
            Untuk menghindari penganakemasan salah satu profesi dalam menduduki jabatan kepala Puskesmas, akan lebih adil jika rekrutmen kepala Puskesmas dilakukan melalui open recruitment. Pemerintah Daerah sebagai pemilik Puskesmas berwenang menetapkan kualifikasi secara terbuka ketika mereka mencari posisi kepala Puskesmas. Siapa saja yang memenuhi syarat dapat mengajukan lamaran. Yang paling penting adalah transparansi dalam hal rekruitmen dan terminasi. Melalui sebuah rangkaian rekruitmen hingga seleksi, Pemerintah akan dapat meramalkan kemampuan yang dimiliki seorang SKM dalam memimpin Puskesmas.
Yang paling utama adalah berikan kesempatan kepada SKM, apakah mereka mampu menjadi kepala Puskesmas. 
        Masalah utama yang muncul adalah tentang kepercayaan para pembuat kebijakan untuk memberi SKM kesempatan menjadi kepala Puskesmas. Sudah banyak kabupaten/ kota di Jawa Timur yang telah memberlakukan kebijakan SKM sebagai kepala Puskesmas. Namun sayangnya tidak dibarengi dengan evaluasi yang menyeluruh. Pemerintahnya hanya melihat bahwa output yang dihasilkan kepala Puskesmas SKM tidak lebih baik daripada non SKM. Pelayanan kesehatan merupakan sebuah proses yang kompleks sehingga tidak dapat hanya dilihat dari indikator output saja. Justru yang paling penting adalah indikator proses. Masalah juga sering muncul pada indikator input SKM, karena SKM yang ada saat ini ada yang bukan SKM murni. Artinya mereka memiliki dasar pendidikan D3 non kesehatan masyarakat.

Tidak ada komentar: