oleh : Nuzulul Kusuma Putri
Salah
satu point penting dalam SK Menkes no. 128 tahun 2004 tentang Kebijakan
Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat adalah kepala puskesmas dipersyaratkan
harus seorang sarjana di bidang kesehatan yang kurikulum pendidikannya
mencakup kesehatan masyarakat dan menempati eselon III B.
Organisasi dan Tatalaksana Puskesmas
Puskesmas
adalah unit pelaksanaan teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota yang
bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu
wilayah. Visi yang dimiliki oleh Puskesmas adalah tercapainya kecamatan
sehat menuju terwujudnya Indonesia Sehat 2010. Masyarakat hidup dalam
lingkungan dan perilaku sehat memiliki kemampuan untuk menjangkau
pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata sehingga mampu
untuk memiliki derajat kesehatan yang setinggi- tingginya.
Indikator
pencapaian yang digunakan untuk mengukur visi ini antara lain
lingkungan sehat, perilaku sehat, cakupan pelayanan kesehatan yang
bermutu, serta derajad kesehatan penduduk kecamatan yang optimal.
Konsekuensinya, upaya pelayanan kesehatan di Puskesmas tidak hanya
dalam hal pengobatan (kuratif) tetapi juga meliputi upaya promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Dengan
menilik fungsi puskesmas tersebut, terlihat bahwa peran Puskesmas di
luar gedung lebih besar dibandingkan di dalam gedung. Puskesmas perlu
lebih banyak melakukan pemantauan pembangunan berwawasan kesehatan. Hal
ini dibutuhkan agar masyarakat memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan
melayani diri sendiri untuk sehat serta berperan aktif dalam
pelaksanaan program kesehatan. Kegiatan Puskesmas yang ada di dalam
gedung hanya terfokus pada upaya pengobatan. Upaya pengobatan dalam
jangka panjang kurang menguntungkan karena biaya untuk pengobatan
semakin lama semakin meningkat. Adanya fungsi puskesmas yang lebih
terfokus pada kegiatan di luar gedung dari pada di dalam gedung ini,
menyebabkan perlu adanya sistem manajemen yang baik terutama dalam
bidang manajemen kesehatan masyarakat.
Kompleksnya
upaya pelayanan kesehatan yang ada di Puskesmas menuntut adanya sebuah
sistem manajemen Puskesmas yang baik meliputi perencanaan, penggerakan,
pelaksanaan dan pengawasan, pengendalian dan penilaian. Namun perlu
diingat bahwa manajemen merupakan sebuah ilmu dan seni sehingga seorang
kepala Puskesmas dituntut untuk memiliki ilmu manajerial dan kemampuan
mengoptimalkan ilmu itu yang dalam hal ini berada dalam konteks
kesehatan.
Kompetensi Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Berdasarkan
penjelasan di atas, tenaga Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) baik
strata satu maupun strata dua adalah salah satu tenaga di bidang
kesehatan yang memiliki ilmu manajemen yang berkaitan dengan kesehatan
masyarakat. Ditinjau dari kurikulum pendidikan Fakultas Kesehatan
Masyarakat, maka kompetensi sarjana kesehatan masyarakat khususnya
jurusan administrasi kebijakan kesehatan, dalam kaitannya dengan
manajemen puskesmas sudah memadai.
Seorang
calon sarjana kesehatan masyarakat harus mampu menyelesaikan mata
kuliah organisasi, manajemen, perencanaan dan evaluasi , pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan, manajemen strategik kesehatan
masyarakat, manajemen data, ekonomi kesehatan, kepemimpinan,promosi dan
pendidikan kesehatan, sosio antropologi kesehatan, komunikasi kesehatan,
etika dan hukum kesehatan serta sistem informasi kesehatan.
Saat
ini Puskesmas lebih banyak dipimpin bukan oleh sarjana kesehatan
masyarakat, Puskesmas lebih banyak dipimpin oleh tenaga medis dokter
maupun dokter gigi. Kompetensi dokter dan dokter gigi sebagai kepala
Puskesmas merupakan sebuah over qualified competence. Karena
untuk menjadi seorang administrator tidak perlu belajar anatomi,
biokimia dan ilmu bedah. Keterampilan dokter jauh lebih bermanfaat untuk
clinical care. Meskipun sebagian besar pendidikan dokter
memasukkan mata kuliah manajemen program kesehatan masyarakat (lebih
kurang untuk kegiatan pelayanan di Puskesmas).
Sebuah
penelitian telah dilakukan di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah tentang
perbedaan fungsi manajemen antara Puskesmas yang dikepalai oleh SKM dan
non SKM. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan fungsi
perencanaan, fungsi koordinasi, fungsi penggerakan, fungsi evaluasi,
serta angka cakupan program kesehatan pada Puskesmas yang dikepalai oleh
SKM dan Non SKM di Kabupaten Grobogan tahun 2007. Kabupaten Grobogan
memiliki tiga puluh Puskesmas, lima Puskesmas di antaranya dikepalai
oleh SKM, empat Puskesmas dikepalai oleh dokter gigi, dan 21 Puskesmas
dikepalai oleh dokter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan fungsi manajemen antara Puskesmas yang dikepalai oleh SKM dan
Non SKM pada program kesehatan di Kabupaten Grobogan tahun 2007.
Dari
perbandingan kurikulum pendidikan antara SKM dan dokter, terlihat
seorang sarjana kesehatan masyarakat lebih memiliki keahlian yang
diharapkan untuk dapat menjalankan tugasnya sebagai seorang pemimpin
Puskesmas. Hal ini karena seorang pemimpin Puskesmas harus mampu
merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan dan mengevaluasi kegiatan
manajemen Puskesmas. Namun, keberhasilan kepemimpinan Puskesmas oleh
seorang sarjana kesehatan masyarakat berpulang kembali kepada kecerdasan
orang tersebut untuk mengaplikasikan ilmunya di Puskesmas. Dengan dasar
tersebut, seorang pemimpin puskesmas dibutuhkan dari seorang yang telah
menduduki eselon III B dengan harapan orang tersebut telah banyak
pengalaman dalam pekerjaannya.
Faktor
pengalaman lapangan yang selama ini banyak diperdebatkan memang lebih
menguntungkan dokter dan dokter gigi. Kementerian Kesehatan mewajibkan
dokter yang baru lulus melaksanakan praktik selama satu tahun di
Puskesmas dan rumah sakit. Dengan pengaturan penempatan, nantinya dokter
itu akan ditempatkan di Puskesmas selama empat bulan dan di rumah sakit
selama delapan bulan. Persyaratan yang diatur dalam peraturan Menteri
Kesehatan ini menjadi salah satu syarat memperoleh surat tanda
registrasi (STR) yang harus dimiliki dokter agar bisa berpraktik.
Keuntungan dari program ini bagi dokter adalah menambah pengalaman,
meningkatkan ketrampilan dokter, sebagai sarana untuk berkomunikasi
dengan masyarakat.
Pendidikan
sarjana kesehatan masyarakat sendiri telah memberikan bekal pengalaman
bagi sarjananya melalui program magang dan belajar lapangan di instansi
kesehatan di Puskesmas. Namun durasi waktunya lebih pendek daripada
program magang dokter dan dokter gigi (hanya sekitar dua bulan). Job description mahasiswa
magang pun masih belum jelas. Jika dokter dan dokter gigi telah
memiliki program yang jelas dengan program kedokteran komunitas,
mahasiswa kesehatan masyarakat yang magang tugasnya masih belum jelas.
Banyak di antara mahasiswa magang hanya diminta untuk terlibat dalam
pelayanan loket. Sehingga kesempatan dalam ikut serta dan belajar
langsung tentang manajemen Puskesmas masih belum optimal.
Masih Wacana Efisiensi Dokter Bukan Wacana Kompetensi SKM
Kepala
Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Kesehatan
mengungkapkan bahwa saat ini dari 8.000-an Puskesmas di Indonesia,
sekitar 30% belum memiliki dokter. Kenyataan bahwa disfungsi dokter
menjadi kepala Puskesmas dapat mengganggu fungsi puskesmas yang
sesungguhnya. Perawat menjalankan praktek pengobatan di Puskesmas dan
dokter jadi pengawas dan administrator. Jika dokter mampu untuk menjadi
pengawas yang efektif mungkin tidak masalah. Tetapi sedikit sekali fakta
yang menunjukkan ada suatu mekanisme dalam pengawasan praktek klinik
perawat. Ini tidak menyampingkan bahwa perawat pun sebetulnya ada yang
berpraktek secara rasional. Hal ini menunjukkan adanya tumpang tindih job description yang ada di Puskesmas.
Ketua
IDI wilayah DKI Jakarta, menyatakan bahwa harus ada kejelasan pada
tugas profesi dokter di Puskesmas. Tugas dokter di Puskesmas saat ini
tidak cocok dengan apa yang seharusnya dilakukan seorang dokter. Karena, dokter jadi lebih disibukkan oleh tugas manajerial dan jabatannya sebagai pejabat
kecamatan. Ketidakjelasan tugas tersebut jelas akan mempengaruhi kinerja dokter Puskesmas. Beberapa studi tentang hal ini telah dilakukan dan hasilnya menunjukkan hal yang sama. Tingkat kehadiran dokter yang rendah hingga program Puskesmas yang tidak berjalan. Namun tidak semua dapat dipukul rata karena di lain pihak banyak juga kinerja dokter Puskesmas yang tinggi walaupun harus merangkap jabatan struktural sebagai kepala Puskesmas.
kecamatan. Ketidakjelasan tugas tersebut jelas akan mempengaruhi kinerja dokter Puskesmas. Beberapa studi tentang hal ini telah dilakukan dan hasilnya menunjukkan hal yang sama. Tingkat kehadiran dokter yang rendah hingga program Puskesmas yang tidak berjalan. Namun tidak semua dapat dipukul rata karena di lain pihak banyak juga kinerja dokter Puskesmas yang tinggi walaupun harus merangkap jabatan struktural sebagai kepala Puskesmas.
Wacana
lain yang sering muncul dalam diskusi kepemimpinan Puskesmas adalah
jika Puskesmas dijabat seorang sarjana kesehatan masyarakat akan lebih
menguntungkan karena frekuensi kepindahan tidak terlalu cepat bila
dibandingkan dokter yang frekuensi kepindahannya lebih cepat mengikuti
perannya sebagai dokter yang perlu mengambil pendidikan dokter
spesialis. Wacana SKM menjadi kepala Puskesmas juga muncul karena dokter
dianggap terlalu over-qualified dalam menjalankan
Puskesmas. Untuk menjadi administrator tidak perlu belajar anatomi,
biokimia dan ilmu bedah. Keterampilan dokter dianggap akan jauh lebih
bermanfaat untuk clinical care.
Dari
penjelasan tersebut, terkesan masih mengganggap SKM sebagai warga kelas
dua setelah dokter dalam menjadi kepala Puskesmas. Alasan yang utama
masih mengakar pada dokter. Tentang dokter yang masih dibutuhkan oleh
pasien, tentang dokter yang jumlahnya terbatas, atau bahkan karena
dokter yang memiliki mobilitas tinggi. Alasan munculnya wacana SKM
menjadi kepala Puskesmas masih belum menyentuh core utama efektivitas kompetensi SKM. Belum pada market trust terhadap kemampuan SKM menjalankan manajerial kesehatan.
SKM
masih dianggap terlalu generalis karena studi administrasi kesehatan
hanya satu bagian kecil dari pelajaran mereka. Kemapuan manajemen SKM
juga selalu ditantang oleh kenyataan rumitnya masalah pelayanan
kesehatan yang pada dasarnya dikuasai oleh dokter dan perawat. Meskipun
secara teoritis, administrator bisa saja membawahi orang yang lebih
tinggi tingkat pendidikannya, tetapi bisa ada semacam hambatan
psikologis untuk mengendalikan mereka.
Solusi yang Ditawarkan
Harus ada kejelasan tentang prospek jenjang karir sarjana kesehatan masyarakat. Stakeholder yang terkait harus menyadari ke arah mana SKM akan dikembangkan. Bila memang SKM diniati untuk bisa mengisi jabatan top management
Puskesmas atau rumah sakit, maka mahasiswa kesehatan masyarakat dengan
kualifikasi dan kompetensi macam apa yang berhak menduduki jabatan
tersebut. Untuk lebih memantapkan kompetensinya, SKM harus dibekali
secara detail baik teori maupun praktek tentang total quality management of primary care sebagai ciri khas spesifik SKM dengan dokter. Atau
jika diperlukan adalah dengan membuat sebuah jenjang keprofesian SKM
agar tidak dianggap sebagai bidang ilmu yang generalis.
Untuk
menghindari penganakemasan salah satu profesi dalam menduduki jabatan
kepala Puskesmas, akan lebih adil jika rekrutmen kepala Puskesmas
dilakukan melalui open recruitment. Pemerintah Daerah sebagai
pemilik Puskesmas berwenang menetapkan kualifikasi secara terbuka ketika
mereka mencari posisi kepala Puskesmas. Siapa saja yang memenuhi syarat
dapat mengajukan lamaran. Yang paling penting adalah transparansi dalam
hal rekruitmen dan terminasi. Melalui sebuah rangkaian rekruitmen
hingga seleksi, Pemerintah akan dapat meramalkan kemampuan yang dimiliki
seorang SKM dalam memimpin Puskesmas.
Yang
paling utama adalah berikan kesempatan kepada SKM, apakah mereka mampu
menjadi kepala Puskesmas.
Masalah utama yang muncul adalah tentang
kepercayaan para pembuat kebijakan untuk memberi SKM kesempatan menjadi
kepala Puskesmas. Sudah banyak kabupaten/ kota di Jawa Timur yang telah
memberlakukan kebijakan SKM sebagai kepala Puskesmas. Namun sayangnya
tidak dibarengi dengan evaluasi yang menyeluruh. Pemerintahnya hanya
melihat bahwa output yang dihasilkan kepala Puskesmas SKM tidak lebih
baik daripada non SKM. Pelayanan kesehatan merupakan sebuah proses yang
kompleks sehingga tidak dapat hanya dilihat dari indikator output saja.
Justru yang paling penting adalah indikator proses. Masalah juga sering
muncul pada indikator input SKM, karena SKM yang ada saat ini ada yang
bukan SKM murni. Artinya mereka memiliki dasar pendidikan D3 non
kesehatan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar