Rabu, 15 Agustus 2012

Program “Satu SKM Satu Desa” untuk Indonesia Sehat


        Menanggapi berbagai persoalan klasik tentang masalah kesehatan masyarakat dunia termasuk indonesia, baik penyakit tidak menular maupun menular. Hal tersebut menjadikan indonesia yang merupakan negara berkembang harus berusaha lebih keras dengan menganalisis permasalahan yang ada kemudian mencoba memperbaiki segera masalah dengan berbagai cara yang dianggap paling efektif dan efesien. Berbagai organisasi kesehatan terutama sektor pemerintah mulai gelisah baik karena kepedulian terhadap kesehatan atau karena sebuah tekanan dari kebijakan dunia, negara maupun masyarakat. Permasalahan tersebut telah ditemukan dan ditetapkan dalam sebuah perencanaan pembangunan kesehatan, salah satu diantaranya adalah permasalahan sumber daya kesehatan (SDM). Pemerintah dan berbagai organisasi profesi telah menetapkan gebrakan baru yang dianggap mampu mengatasi permasalahan SDM diantaranya adalah tenaga kesehatan masyarakat (SKM). Permasalahan kualitas dan kuantitas SDM merupakan  salah satu faktor penting dalam pembangunan kesehatan selain pembiayaan.
     Menjamurnya pendidikan kesehatan masyarakat di Indonesia bisa dikatakan sangat subur hal ini terbukti dengan telah berdiri dan beroprasionalnya 143 perguruan tinggi (PT) tingkat sarjana, 24 PT tingkat Magister dan 2 PT untuk tingkat doktor baik negeri (PTN) maupun swasta (PTS), yang menurut data sampai maret 2010, 70% tingkat sarjana dan 80 % tingkat magister belum terakreditasi (EPSBED.Dikti, 2010). Pendidikan kesehatan termasuk SKM dianggap sebagai peluang bisnis yang menjanjikan khususnya bagi para pengusaha atau pemilik modal PTS aelain alasan untuk membantu pendidikan masyarakat atau alasan positif lainya (pernah mendengar sendiri, ada pendiri pernah mengatakan demikian). Sayangnya menjamurnya pendidikan SKM di indonesia belum mengedapankan kualitas sasaran, hal ini terbukti dengan banyaknya perguruan tinggi yang belum bisa memenuhi standar minimal (SDM, kurikulum, sistem pendidikan, laboratorium, dll) pendirian program studi/perguruan tinggi secara nyata, hal ini justru menimbulkan brbagai pertanyaan, bagaimanakah pihak pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional/Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa mengeluarkan surat ijin perpanjangan, pendirian dan pembukaan prodi SKM tersebut. (Dapat di lihat pada daftar rujukan Materi Dr.Emma dan Dr.Setiawan di kahir tulisan ini)
        Selain itu permasalahan yang juga tidak kalah penting adalah ketika para SKM telah selesai pendidikan, akankah mereka mengembangkan dan mengamalkan ilmunya, siap dan mampu berkreatifitas dan berkarya dengan jalur yang telah dipilihnya hingga finish atau mereka melupakan latar belakang mereka hingga merubah haluan dan tujuan semula karena demi mempertahankan hidup, mengisi perut dan membantu ekonomi kaluarga atau bahkan beralih menekuni bidang ilmu yang lebih menjanjikan. Sudah sewajarnya organisasi pendidikan dan profesi (IAKMI, PERSAKMI, AIPTKMI, dan organisas lain dalam disiplin ilmu kesmas) peduli terhadap saudara-saudara kita yang selama ini telah tercetak (lulusan/SKM) dan akan tercetak (mahasiswa).
           Jika pemerintah berkomitmen untuk memprioritaskan upaya promotif dan preventifnya, maka sebagai konsekuensinya tentu pendanaan juga harus disiapkan, jika kesehatan masyarakat terjamin dan meningkat maka produktifitas manusia juga akan meningkat yang akhirnya berdampak kepada peningkatan ekonomi negara dan timbal balik dari negara adalah membantu mensejahterakan masyarakat termasuk SKM yg memiliki potensi tapi tak berdaya, disitulah letak hubungan timbal balik mutualisme antara masyarakat dalam hal ini SKM dengan pemerintah atau bangsa Indonesia.
           Secara rinci sebagian permasalan pembangunan kesehatan Indonesia adalah kekurangan SDM termasuk tenaga kesehatan masyarakat. Kekurangan yang sangat signifikan tenaga kesmas dan persebaranya di Indonesia menjadi salah satu penyebab yang mengakibatkan melambanya pembangunan kesehatan. Jika merujuk bahwa keberhasilan pembangunan kesehatan itu 80 % ditentukan oleh SDM selain pembiayaan tentu upaya realisasi masalah tersebut perlu dikedepankan. Saat ini berdasarkan data pusat perencanan dan pembangunan tenaga kesehatan 2011, ketersediaan tenaga kesmas di indonesia hanya 6.505 orang padahal berdasarkan kebutuhan kesehatan masyarakat di puskesmas saja mencapai 26.964 orang sehingga kekuranganya mencapai 21.131 orang. berdasarkan data permasalahan kekurangan SDM tersebut tentu hal ini akan sulit terealisasi dan hanya akan menjadi sebatas program dan rencana diatas kertas tanpa adanya usaha nyata untuk mencapai kekurangan tersebut, meskipun secara produksi tenaga kesmas di Indonesia telah berjumlah 143 PT tingkat sarjana yang tersebar di seluruh wilayah provinsi Indonesia. (Lihat materi Dr.oscar kebijakan nasional dan pemberdayaan SKM)
            Isu besar kesehatan lain saat ini ialah masalah adekuasi (memadai) dan sustainabilitas (keberlanjutan) dari pembiayaan kesehatan di Indonesia, khususnya pembiayaan pemerintah. Diskusi tentang “apakah anggaran saat ini cukup? Atau kurang?, menjadi perdebatan yang hangat. Jika melihat kebutuhan akan dana program dari pemerintah yang digulirkan melalui APBN (Pusat) dan atau APBD (Propinsi dan Kabupaten Kota), maka bisa dikatakan bahwa anggaran kesehatan Indonesia relative sangat kecil (hanya 1.7% dari total belanja pemerintah). Tetapi isu menarik berikutnya adalah adanya sisa anggaran yang tidak terserap di kementrian kesehatan. Data pasti belum terkumpul, namun kejadian sudah terlihat bertahun-tahun seperti berikut ini. (lihat materi Review kebijakan penganggaran dan hasil diskusi anggaran Kemenkes RI di UGM, Apakah Kurang_Kenapa Ada Sisa_2011, diakhir tulisan ini)
Serapan dana Pemerintah Untuk Kesehatan
Serapan Anggaran Dana Kemenkes_Alokasi & Realisasi
Serapan Anggaran Dana Kemenkes_Alokasi & Realisasi
Hasil diskusi kebijakan pembiayaan kesehatan tahun 2011 di UGM selengkapnya dapat dilihat dan di unduh disini.
Merespon hasil diskusi ilmiah dan beberapa pertemuan ilmiah terkait tenaga kesehatan (SKM), penganggaran kesehatan dan permasalahan kesehatan selain yang telah dipaparkan sebelumnya, kita sendiri menyadari bahwa permasalahan yang sedang kita hadapi saat ini cukup komplek, paling tidak bagaimana kita berusaha menyelesaikan satu permasalahan pembangunan kesehatan Indonesia (SDM) untuk bisa menyelesaikan permasalahan yang lain dengan tetap mengacu pada pokok-pokok MDGs.
Jika rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN I-IV) Indonesia tidak akan mengalami perubahan seperti dalam konsep berikut ini
Arah pengembangan Nakes terhadap RPJMN
Arah pengembangan Nakes terhadap RPJMN
Maka sebuah usulan program “Satu SKM Satu Desa” untuk Indonesia sehat, menjadi sebuah alternatif solusi yang tepat. Jika di analisis secara umum tentang latar belakang mengapa muncul usulan tersebut ?, maka secara ringkas dapat saya gambarkan sebagai berikut.
Masalah Tenaga SKM
Indikator keberhasilan pembangunan kesehatan WHO
KEBUTUHAN NAKES SKM di Puskesmas 2010
distribusi tenaga kesmas di indonesia
persebaran SKM tingkat Puskesmas _www.bppsdmk.depkes.go.id_agregat_
Persebaran SKM tingkat Puskesmas _www.bppsdmk.depkes.go.id/agregat/
UU No.36_2009_tenaga SDM 2
UU No.36_2009_tenaga SDM
Program Satu SKM untuk Satu Desa
Program Satu SKM untuk Satu Desa
Kerangka Pikir untuk program Satu SKM satu Desa
Kerangka Pikir untuk program Satu SKM satu Desa
Dengan adanya perencanaan program “Satu SKM Satu Desa” untuk Indonesia sehat, di harapkan program ini menjadi lebih terarah dan jelas untuk menjadi sebuah alternatif solusi atas permasalahan pembangunan kesehatan dan permasalahan SKM seperti berikut.
  1.  Membantu mempercepat dan memperjelas realisasi pembangunan kesehatan sesuai RPJMN 1-4.
  2.  Meningkatkan Mutu SDM, selain peningkatan mutu pendidikan, dengan semakin bertambahnya SKM yang diberdayakan untuk masyarakat dan bangsa maka diharapkan kualitas SKM akan ikut meningkat hal ini berdasarkan filsafat, ilmu akan bertambah dan meningkat jika ilmu itu digunakan/diamalkan dan mencoba fokus pada permasalahan yang dihadapi.
  3.  Masalah MDGs yang saat ini masih belum tercapai terutama MDG 4, 5 dan 6 akan bisa tercapai lebih baik.
  4.  Mencapai penyebaran tenaga Nakes (SKM) yang adil dan merata diseluruh penjuru  nusantara sekaligus membantu membangunkan dan mempercepat program kelurahan/desa siaga aktif yang hampir terabaikan.
  5.  Kesehatan masyarakat akan meningkat sehingga produktifitas masyarakat meningkat dan akhirnya berdampak positif kepada perekonomian masyarakat dan negara, sehingga masyarakat akan lebih sejahtera (indikator keberhasilan pembangunan kesehatan WHO, 80 % ditentukan SDM baik kuantitas maupun kualitas).
Demikian sedikit ulasan sederhana mengenai latar belakang dan gambaran secara umum tentang kemunculan sebuah usulan program “Satu SKM Satu Desa” untuk Indonesia Sehat (Terobosan baru program Indonesia sehat). Program ini merupakan tanggapan dan masukan sekaligus merincikan tentang permasalahan pembangunan kesehatan dalam hal  indikator SDM, Saya berharap kepada pembaca dan saudara-saudara sejawat SKM atau para ahli kesehatan, khususnya ahli kesehatan masyarakat untuk bisa melihat program tersebut bukan dari siapa ide ini muncul tapi silahkan lihat apa dampak dan manfaat program tersebut untuk masyarakat dan saudara-saudara kita (SKM). Saya mohon maaf jika dalam penulisan usulan konsep program ini kuranglah baik dan jauh dari sempurna, seperti pepatah “Tak Ada Gading yang Tak Retak”. Oleh karena itu kritik, saran dan masukan dari berbagai pihak khususya tenaga kesehatan masyarakat sangat diharapkan untuk keberhasilan pembangunan kesehatan berbasis pemberdayaan ini.
NB : Karena program ini direncanakan akan diusulkan menjadi program nasional akan lebih baik jika pemerhati dan penggiat kesehatan masyarakat (IAKMI, PERSAKMI, AIPTKMI, ISMKMI, PAMI) dan organisasi profesi lainya dalam disiplin ilmu kesehatan masyarakat) untuk bisa membagikan dan mendiskusikan program Satu SKM Satu Desa” untuk MDGs (Terobosan baru program Indonesia sehat) demi kesempurnaan konsep tersebut. Terimakasih.

Sabtu, 11 Agustus 2012

SKM sebagai kepala puskesmas : sebuah wacana kompetensi

     oleh : Nuzulul Kusuma Putri

     Salah satu point penting dalam SK Menkes no. 128 tahun 2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat adalah kepala puskesmas dipersyaratkan harus seorang sarjana di bidang kesehatan yang kurikulum pendidikannya mencakup kesehatan masyarakat dan menempati eselon III B.


 
Organisasi dan Tatalaksana Puskesmas
       Puskesmas adalah unit pelaksanaan teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota  yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah. Visi yang dimiliki oleh Puskesmas adalah tercapainya kecamatan sehat menuju terwujudnya Indonesia Sehat 2010. Masyarakat hidup dalam lingkungan  dan perilaku sehat memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata sehingga mampu untuk memiliki derajat kesehatan yang setinggi- tingginya.
      Indikator pencapaian yang digunakan untuk mengukur visi ini antara lain lingkungan sehat, perilaku sehat, cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu, serta derajad kesehatan penduduk kecamatan yang optimal. Konsekuensinya, upaya pelayanan kesehatan di  Puskesmas tidak hanya dalam hal pengobatan (kuratif) tetapi juga meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
      Dengan menilik fungsi puskesmas tersebut, terlihat bahwa peran Puskesmas di luar gedung lebih besar dibandingkan di dalam gedung. Puskesmas perlu lebih banyak melakukan pemantauan pembangunan berwawasan kesehatan. Hal ini dibutuhkan agar masyarakat memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan melayani diri sendiri untuk sehat serta berperan aktif dalam pelaksanaan program kesehatan. Kegiatan Puskesmas yang ada di dalam gedung hanya terfokus pada upaya pengobatan. Upaya pengobatan dalam jangka panjang kurang menguntungkan karena biaya untuk pengobatan semakin lama semakin meningkat. Adanya fungsi puskesmas yang lebih terfokus pada kegiatan di luar gedung dari pada di dalam gedung ini, menyebabkan perlu adanya sistem manajemen yang baik terutama dalam bidang manajemen kesehatan masyarakat.
     Kompleksnya upaya pelayanan kesehatan yang ada di Puskesmas menuntut adanya sebuah sistem manajemen Puskesmas yang baik meliputi perencanaan, penggerakan, pelaksanaan dan pengawasan, pengendalian dan penilaian. Namun perlu diingat bahwa manajemen merupakan sebuah ilmu dan seni sehingga seorang kepala Puskesmas dituntut untuk memiliki ilmu manajerial dan kemampuan mengoptimalkan ilmu itu yang dalam hal ini berada dalam konteks kesehatan.

Kompetensi Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
        Berdasarkan penjelasan di atas, tenaga Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) baik strata satu maupun strata dua adalah salah satu tenaga di bidang kesehatan yang memiliki ilmu manajemen yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat. Ditinjau dari kurikulum pendidikan Fakultas Kesehatan Masyarakat, maka kompetensi sarjana kesehatan masyarakat khususnya jurusan administrasi kebijakan kesehatan, dalam kaitannya dengan manajemen puskesmas sudah memadai.
           Seorang calon sarjana kesehatan masyarakat harus mampu menyelesaikan mata kuliah organisasi, manajemen, perencanaan dan evaluasi , pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, manajemen strategik kesehatan masyarakat, manajemen data, ekonomi kesehatan, kepemimpinan,promosi dan pendidikan kesehatan, sosio antropologi kesehatan, komunikasi kesehatan, etika dan hukum kesehatan  serta sistem informasi kesehatan.
           Saat ini Puskesmas lebih banyak dipimpin bukan oleh sarjana kesehatan masyarakat, Puskesmas lebih banyak dipimpin oleh tenaga medis dokter maupun dokter gigi. Kompetensi dokter dan dokter gigi sebagai kepala Puskesmas merupakan sebuah over qualified competence. Karena untuk menjadi seorang administrator tidak perlu belajar anatomi, biokimia dan ilmu bedah. Keterampilan dokter jauh lebih bermanfaat untuk clinical care. Meskipun sebagian besar pendidikan dokter memasukkan mata kuliah manajemen program kesehatan masyarakat (lebih kurang untuk kegiatan pelayanan di Puskesmas).
             Sebuah penelitian telah dilakukan di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah tentang perbedaan fungsi manajemen antara Puskesmas yang dikepalai oleh SKM dan non SKM. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan fungsi perencanaan, fungsi koordinasi, fungsi penggerakan, fungsi evaluasi, serta angka cakupan program kesehatan pada Puskesmas yang dikepalai oleh SKM dan Non SKM di Kabupaten Grobogan tahun 2007. Kabupaten Grobogan  memiliki tiga puluh Puskesmas, lima Puskesmas di antaranya dikepalai oleh SKM, empat Puskesmas dikepalai oleh dokter gigi, dan 21 Puskesmas dikepalai oleh dokter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan fungsi manajemen antara Puskesmas yang dikepalai oleh SKM dan Non SKM pada program kesehatan di Kabupaten Grobogan tahun 2007.
            Dari perbandingan kurikulum pendidikan antara SKM dan dokter, terlihat seorang sarjana kesehatan masyarakat lebih memiliki keahlian yang diharapkan untuk dapat menjalankan tugasnya sebagai seorang pemimpin Puskesmas. Hal ini karena seorang pemimpin Puskesmas harus mampu merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan dan mengevaluasi kegiatan manajemen Puskesmas. Namun, keberhasilan kepemimpinan Puskesmas oleh seorang sarjana kesehatan masyarakat berpulang kembali kepada kecerdasan orang tersebut untuk mengaplikasikan ilmunya di Puskesmas. Dengan dasar tersebut, seorang pemimpin puskesmas dibutuhkan dari seorang yang telah menduduki eselon III B dengan harapan orang tersebut telah banyak pengalaman dalam pekerjaannya.
            Faktor pengalaman lapangan yang selama ini banyak diperdebatkan memang lebih menguntungkan dokter dan dokter gigi. Kementerian Kesehatan mewajibkan dokter yang baru lulus melaksanakan praktik selama satu tahun di Puskesmas dan rumah sakit. Dengan pengaturan penempatan, nantinya dokter itu akan ditempatkan di Puskesmas selama empat bulan dan di rumah sakit selama delapan bulan. Persyaratan yang diatur dalam peraturan Menteri Kesehatan ini menjadi salah satu syarat memperoleh surat tanda registrasi (STR) yang harus dimiliki dokter agar bisa berpraktik. Keuntungan dari program ini bagi dokter adalah menambah pengalaman, meningkatkan ketrampilan dokter, sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan masyarakat.
          Pendidikan sarjana kesehatan masyarakat sendiri telah memberikan bekal pengalaman bagi sarjananya melalui program magang dan belajar lapangan di instansi kesehatan di Puskesmas. Namun durasi waktunya lebih pendek daripada program magang dokter dan dokter gigi (hanya sekitar dua bulan). Job description mahasiswa magang pun masih belum jelas. Jika dokter dan dokter gigi telah memiliki program yang jelas dengan program kedokteran komunitas,   mahasiswa kesehatan masyarakat yang magang tugasnya masih belum jelas. Banyak di antara mahasiswa magang hanya diminta untuk terlibat dalam pelayanan loket. Sehingga kesempatan dalam ikut serta dan belajar langsung tentang manajemen Puskesmas masih belum optimal.

Masih Wacana Efisiensi Dokter Bukan Wacana Kompetensi SKM
                Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Kesehatan mengungkapkan bahwa saat ini dari 8.000-an Puskesmas di Indonesia, sekitar 30% belum memiliki dokter. Kenyataan bahwa disfungsi dokter menjadi kepala Puskesmas dapat mengganggu fungsi puskesmas yang sesungguhnya. Perawat menjalankan praktek pengobatan di Puskesmas dan dokter jadi pengawas dan administrator. Jika dokter mampu untuk menjadi pengawas yang efektif mungkin tidak masalah. Tetapi sedikit sekali fakta yang menunjukkan ada suatu mekanisme dalam pengawasan praktek klinik perawat. Ini tidak menyampingkan bahwa perawat pun sebetulnya ada yang berpraktek secara rasional. Hal ini menunjukkan adanya tumpang tindih job description yang ada di Puskesmas.
            Ketua IDI wilayah DKI Jakarta, menyatakan bahwa harus ada kejelasan pada tugas profesi dokter di Puskesmas. Tugas dokter di Puskesmas saat ini tidak cocok dengan apa yang seharusnya dilakukan seorang dokter. Karena, dokter jadi lebih disibukkan oleh tugas manajerial dan jabatannya sebagai pejabat
kecamatan. Ketidakjelasan tugas tersebut jelas akan mempengaruhi kinerja dokter Puskesmas. Beberapa studi tentang hal ini telah dilakukan dan hasilnya menunjukkan hal yang sama. Tingkat kehadiran dokter yang rendah hingga program Puskesmas yang tidak berjalan. Namun tidak semua dapat dipukul rata karena di lain pihak banyak juga kinerja dokter Puskesmas yang tinggi walaupun harus merangkap jabatan struktural sebagai kepala Puskesmas.
             Wacana lain yang sering muncul dalam diskusi kepemimpinan Puskesmas adalah jika Puskesmas dijabat seorang sarjana kesehatan masyarakat akan lebih menguntungkan karena frekuensi kepindahan tidak terlalu cepat bila dibandingkan dokter yang frekuensi kepindahannya lebih cepat mengikuti perannya sebagai dokter yang perlu mengambil pendidikan dokter spesialis. Wacana SKM menjadi kepala Puskesmas juga muncul karena dokter dianggap terlalu over-qualified dalam menjalankan Puskesmas. Untuk menjadi administrator tidak perlu belajar anatomi, biokimia dan ilmu bedah. Keterampilan dokter dianggap akan jauh lebih bermanfaat untuk clinical care.
             Dari penjelasan tersebut, terkesan masih mengganggap SKM sebagai warga kelas dua setelah dokter dalam menjadi kepala Puskesmas. Alasan yang utama masih mengakar pada dokter. Tentang dokter yang masih dibutuhkan oleh pasien, tentang dokter yang jumlahnya terbatas, atau bahkan karena dokter yang memiliki mobilitas tinggi. Alasan munculnya wacana SKM menjadi kepala Puskesmas masih belum menyentuh core utama efektivitas kompetensi  SKM. Belum pada market trust terhadap kemampuan SKM menjalankan manajerial kesehatan.
         SKM masih dianggap terlalu generalis karena studi administrasi kesehatan hanya satu bagian kecil dari pelajaran mereka. Kemapuan manajemen SKM juga selalu ditantang oleh kenyataan rumitnya masalah pelayanan kesehatan yang pada dasarnya dikuasai oleh dokter dan perawat. Meskipun secara teoritis, administrator bisa saja membawahi orang yang lebih tinggi tingkat pendidikannya, tetapi bisa ada semacam hambatan psikologis untuk mengendalikan mereka.

Solusi yang Ditawarkan
             Harus ada kejelasan tentang prospek jenjang karir sarjana kesehatan masyarakat. Stakeholder yang terkait harus menyadari ke arah mana SKM akan dikembangkan. Bila memang SKM diniati untuk bisa mengisi jabatan top management Puskesmas atau rumah sakit, maka mahasiswa kesehatan masyarakat dengan kualifikasi dan kompetensi macam apa yang berhak menduduki jabatan tersebut. Untuk lebih memantapkan kompetensinya, SKM harus dibekali  secara detail baik teori maupun praktek tentang total quality management of primary care sebagai ciri khas spesifik SKM dengan dokter.   Atau jika diperlukan adalah dengan membuat sebuah jenjang keprofesian SKM agar tidak dianggap sebagai bidang ilmu yang generalis.
            Untuk menghindari penganakemasan salah satu profesi dalam menduduki jabatan kepala Puskesmas, akan lebih adil jika rekrutmen kepala Puskesmas dilakukan melalui open recruitment. Pemerintah Daerah sebagai pemilik Puskesmas berwenang menetapkan kualifikasi secara terbuka ketika mereka mencari posisi kepala Puskesmas. Siapa saja yang memenuhi syarat dapat mengajukan lamaran. Yang paling penting adalah transparansi dalam hal rekruitmen dan terminasi. Melalui sebuah rangkaian rekruitmen hingga seleksi, Pemerintah akan dapat meramalkan kemampuan yang dimiliki seorang SKM dalam memimpin Puskesmas.
Yang paling utama adalah berikan kesempatan kepada SKM, apakah mereka mampu menjadi kepala Puskesmas. 
        Masalah utama yang muncul adalah tentang kepercayaan para pembuat kebijakan untuk memberi SKM kesempatan menjadi kepala Puskesmas. Sudah banyak kabupaten/ kota di Jawa Timur yang telah memberlakukan kebijakan SKM sebagai kepala Puskesmas. Namun sayangnya tidak dibarengi dengan evaluasi yang menyeluruh. Pemerintahnya hanya melihat bahwa output yang dihasilkan kepala Puskesmas SKM tidak lebih baik daripada non SKM. Pelayanan kesehatan merupakan sebuah proses yang kompleks sehingga tidak dapat hanya dilihat dari indikator output saja. Justru yang paling penting adalah indikator proses. Masalah juga sering muncul pada indikator input SKM, karena SKM yang ada saat ini ada yang bukan SKM murni. Artinya mereka memiliki dasar pendidikan D3 non kesehatan masyarakat.

Selasa, 07 Agustus 2012

Lowongan Kerja yang ada dalam Formasi CPNS BNN Tahun 2012 :

Lowongan Kerja yang ada dalam Formasi CPNS BNN Tahun 2012 :
  1. Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa (Kode : 060)
  2. Dokter Umum (Kode : 061)
  3. Dokter Gigi (Kode : 061)
  4. Analis Intelijen Taktis (Kode : 115)
  5. Analis Intelijen Produk Narkotika (Kode :116)
  6. Psikolog (Kode : 117)
  7. Pelaksana Bimbingan Teknis di Bidang P4GN (Kode : 118)
  8. Fasilitator Rehabilitasi Pecandu Narkotika (Kode : 119)
  9. Analis Laboratorium Narkotika (Kode : 120)
  10. Pembina Mental Pecandu Narkotika (Kode : 121)
Kualifikasi Pendidikan :
1.     Diploma Tiga (D-3) :
  • Kebidanan
  • Keperawatan
  • Kesehatan Masyarakat
2.    Strata Satu (S-1) :
  • Administrasi Negara
  • Agama Islam
  • Agama Kristen
  • Apoteker
  • Dokter Umum
  • Dokter Gigi
  • Ekonomi Manajemen
  • Farmasi
  • Hubungan Internasional
  • Ilmu Gizi
  • Ilmu Hukum
  • Ilmu Komunikasi
  • Kesehatan Masyarakat
  • Ekonomi Akuntansi
  • Manajemen Rumah Sakit
  • Pendidikan Kurikulum
  • Psikologi
  • Sastra Inggris
  • Teknik Informatika
  • Teknik Kimia
3.    Strata Dua (S-2) :
  • Dokter Spesialis Jiwa
  • Profesi Psikologi