Senin, 07 Juli 2008

Pentingnya Preventif Medicine Dalam Penanganan Masalah Gizi Buruk

Kasus gizi buruk masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu dilakukan penanganan yang serius. Kejadian gizi buruk telah mengancam kualitas generasi muda Indonesia kedepan. Paradigma program kesehatan yang berorientasi pada pengobatan penyakit harus berubah pada upaya pencegahan penyakit (preventif).


Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang dilakukan secara berkelanjutan. Berdasarkan visi pembangunan nasional melalui pembangunan kesehatan yang ingin dicapai untuk mewujudkan Indonesia sehat 2010. Visi pembangunan gizi adalah mewujudkan keluarga mandiri sadar gizi untuk mencapai status gizi keluarga yang optimal.

Keadaan gizi meliputi proses penyediaan dan penggunaan gizi untuk pertumbuhan, perkembangan, dan pemeliharaan serta aktifitas. Keadaan kurang gizi dapat terjadi dari beberapa akibat, yaitu ketidakseimbangan asupan zat-zat gizi, faktor penyakit pencernaan, absorsi dan penyakit infeksi. Bila jumlah asupan zat gizinya sesuai dengan kebutuhan disebut seimbang (Gizi baik), bila asupan zat gizi lebih rendah dari kebutuhan disebut Gizi Kurang, sedangkan bila asupan zat gizi sangat kurang dari kebutuhan disebut Gizi Buruk.

Masalah gizi terbagi menjadi masalah gizi makro dan mikro. Masalah gizi makro adalah masalah yang utamanya disebabkan kekurangan atau ketidakseimbangan asupan energi dan protein. Akibat dari masalah gizi makro bila terjadi pada wanita usia subur dan ibu hamil yang Kurang Energi Kronis (KEK) adalah berat badan bayi baru lahir yang rendah (BBLR). Bila terjadi pada anak balita akan mengakibatkan marasmus, kwashiorkor atau marasmic-kwashiorkor dan selanjutnya akan terjadi gangguan pertumbuhan pada anak usia sekolah. Hal ini jelas dapat membahayakan kualitas generasi muda kita kedepan sebagai penerus bangsa.

Data dari Departemen Kesehatan menyebutkan pada 2004 masalah gizi masih terjadi di 77,3 persen kabupaten dan 56 persen kota di Indonesia. Data tersebut juga menyebutkan bahwa pada 2003 sebanyak lima juta anak balita (27,5 persen) kurang gizi dimana 3,5 juta (19,2 persen) diantaranya berada pada tingkat gizi kurang dan 1,5 juta (8,3 persen) sisanya mengalami gizi buruk. Pada tahun 2006 turun menjadi 4,2 juta

( 944.246 diantaranya kasus gizi buruk ) dan tahun 2007 turun lagi menjadi 4,1 juta

( 755.397 diantaranya kasus gizi buruk ). Sementara menurut pengelompokkan prevalensi gizi kurang menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia tergolong sebagai negara dengan status kekurangan gizi yang tinggi pada 2004 karena 5.119.935 balita dari 17.983.244 balita Indonesia (28,47 persen) termasuk kelompok gizi kurang dan gizi buruk.

Kasus gizi buruk sebenarnya terjadinya tidak spontan melainkan prosesnya berlangsung lama, dimana dari status kurang gizi yang berkelanjutan hingga mencapai status gizi buruk. Prevalensi gizi buruk semestinya dapat ditekan apabila ada kesungguhan semua pihak untuk melakukan upaya-upaya preventif medicine (kedokteran pencegahan) bukannya fokus pada tindakan kuratif (pengobatan) saja. Preventif medicine yang dimagsud disini adalah upaya-upaya pencegahan dengan melakukan tindakan promotif dan deteksi dini terhadap kesehatan masyarakat khususnya masalah gizi masyarakat.

Banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya gizi buruk dan faktor tersebut saling berkaitan. Secara langsung, pertama: anak kurang mendapat asupan gizi seimbang dalam waktu cukup lama, dan kedua: anak menderita penyakit infeksi. Anak yang sakit, asupan zat gizi tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh secara optimal karena adanya gangguan penyerapan akibat penyakit infeksi. Secara tidak langsung penyebab terjadinya gizi buruk yaitu tidak cukupnya persediaan pangan di rumah tangga, pola asuh kurang memadai dan sanitasi/kesehatan lingkungan kurang baik serta akses pelayanan kesehatan terbatas. Akar masalah tersebut berkaitan erat dengan rendahnya tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan kemiskinan keluarga.

Peranan Posyandu

Pelayanan kesehatan terpadu (yandu) adalah suatu bentuk keterpaduan pelayanan kesehatan dan keluarga berencana yang dilaksanakan di tingkat dusun dalam wilayah kerja masing-masing puskesmas. Posyandu berperan sebagai wadah yang dibentuk dari swadaya masyarakat sebagai filter awal dalam perbaikan derajat kesehatan masyarakat. Biasanya posyandu dilakukan dibanjar-banjar dengan menggunakan mekanisme lima meja dengan urutan dimulai dari penyuluhan berkelompok, penimbangan balita, pencatatan pada KMS, pelayanan untuk ibu hamil, ibu menyusui dan pasangan usia subur tentang KB sampai dengan vaksinasi. Bahkan belakangan berkembang posyandu paripurna dengan menjaga kesehatan manula. Dengan terselenggaranya kegiatan ini dengan baik maka posyandu dapat menjadi sarana surveillance yang baik utamannya dalam mencegah terjadinya kasus gizi buruk. Berdasarkan kegiatan posyandu akan didapatkan data jumlah balita, balita yang sehat, status gizi kurang dan berstatus gizi buruk. Data-data inilah yang menjadi acuan dalam melakukan perbaikan gizi didaerah tersebut yang dikordinasikan dengan puskesmas setempat.

Sementara ini dibeberapa daerah kegiatan posyandu belum berjalan maksimal dalam pemantauan balita untuk deteksi dini kasus gizi buruk. Hal ini dapat disebabkan kurangnya kader aktif, kemampuan kader, sarana posyandu dan dukungan masyarakat dalam gerakan Posyandu. Kesadaran akan pentingnya peran posyandu harus dibarengi dengan peran aktif masyarakat. Sebab dalam upaya pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010, masyarakat adalah subjek dari pembangunan. Permasalahan kurangnya kader dapat diminimalisir dengan melakukan kerjasama dengan kepala lingkungan masing-masing dalam menyukseskan program Posyandu. Program ini menitik beratkan pada partisipasi masyarakat, digunakan untuk kepentingan masyarakat dan oleh masyarakat itu sendiri.

Khusus untuk di Bali sendiri kader kesehatan dipilih dapat dari tenaga kasinoman yang sistem keanggotaan dapat digilir. Hal ini bermanfaat pada kemampuan kader dalam bidang kesehatan dapat di barter dengan warga lainnya dan pada satu titik sebagian besar masyarakat memahami tentang kesehatan masyarakat. Menghilangkan kejenuhan pada kader kesehatan yang orangnya itu-itu saja. Diperlunya kontrol dari kepala lingkungan setempat terhadap peran serta kader kesehatan terpilih. Disamping itu diperlukan pelatihan kader, penyediaan sarana pendukung, pembinaan dan pendampingan kader, mendorong partisipasi swasta serta bantuan biaya operasional.

Revitalisasi puskesmas

Puskesmas sebagai pelayanan kesehatan belakangan ini lebih konsens pada upaya pengobatan semata. Padahal peranan sentralnya dititik beratkan pada upaya preventif dan promotif. Manajemen puskesmas sebaiknya dikembalikan pada fungsinya sebagai unit pencegahan penyakit masyarakat dengan memberikan edukasi yang konstruktif pada masyarakat sehingga dapat dilakukan pencegahan terhadap terjadinya penyakit. Bagaimanapun pemerintah telah banyak mengeluarkan dana dalam hal obat-obatan, sarana dan prasarana kesehatan. Untuk itu manajemen sebaiknya diarahkan pada preventif medicine (kedokteran pencegahan) daripada kuratif medicine (kedokteran pengobatan). Pencegahan lebih baik dari pada pengobatan, kalimat itu memang ada benarnya. Upaya-upaya pencegahan penyakit yang terlaksana dengan baik akan menghasilkan masyarakat yang sehat, berkualitas dan sudah tentu anggaran pemerintah untuk orang sakit dan obat-obatan dapat dikurangi.

Terkait dengan kejadian gizi buruk yang cukup menjadi sorotan. Sebenarnya puskesmas sendiri memiliki Unit gizi berperan besar dalam menjalankan Program Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) dengan melakukan pemantauan terus-menerus situasi pangan dan gizi masyarakat. Melakukan pemetaan pada daerah yang rawan status gizinya. Sehingga kejadian gizi buruk dapat diketahui sedini mungkin dan dilakukan dengan segera upaya pemulihannya.

Kegiatan preventif medicine pada puskesmas khususnya masalah gizi dapat dibagi menjadi 3 tindakan pencegahan yang komprehensif. Pertama primer prevention (pencegahan primer), langkah-langkah pencegahan primer terdiri dari promosi kesehatan (health promotion) dan perlindungan spesifik (specifik protection) terhadap orang maupun lingkungannya. Penerapan pencegahan primer pada program kesehatan masyarakat di puskesmas dapat dilihat melalui program PKM (pendidikan kesehatan masyarakat), program P2M (pemberantasan penyakit menular) dilakukan melalui kegiatan imunisasi dan pemberantasan vektor. Program kesehatan lingkungan dengan menjaga agar lingkungan tidak membahayakan kesehatan dan tidak memungkinkan berkembangnya vektor dan bibit penyakit. Upaya perlindungan spesifik dapat dilakukan pada program pemberian tablet Fe pada ibu hamil, imunisasi balita, pemberian makanan tambahan.

Kedua secunder prevention, tingkatan pencegahan sekunder terdiri dari penemuan kasus secara dini dan pengobatan yang tepat atau “Early diagnoses and prompt treatment”. Penerapan pencegahan sekunder pada program kesehatan masyarakat di Puskesmas dapat dikaji melalui program gizi melalui penimbangan anak balita, program kesehatan ibu dan anak melalui deteksi dini faktor risiko gangguan dan kelinan kehamilan. Program P2M khusunya surveillance (active and passive case detection) dan program pengobatan pada balita yang mengalami gizi buruk dan perlu dilakukan tindakan medis tertentu.

Ketiga tertier prevention, pencegahan tertier dilaksanakan melalui program rehabilitasi untuk mengurangi ketidakmampuan dan meningkatkan efisiensi hidup pasien. Kegiatan rehabilitasi meliputi aspek medis dan sosial. Penerapan pencegahan sekunder pada program kesehatan masyarakat di puskesmas dapat dikaji melalui program perawatan kesehatan masyarakat.

Strategi pencegahan gizi buruk

Program pencegahan gizi buruk dilaksanakan beberapa langkah starategis dengan pemberdayaan keluarga di bidang gizi adapun upaya yang dapat dilakukan yakni melakukan pemetaan keluarga mandiri sadar gizi oleh dasawisma dalam rangka survey mawas diri masalah gizi keluarga. Bertujuan mengidentifikasi keluarga-keluarga yang belum melaksanakan perilaku gizi yang baik dan benar. Kegiatannya berupa Pelatihan Kadarzi bagi Kader dasawisma, Pengadaan bahan-bahan pemetaan, Pemetaan, analisa dan tindak lanjutnya.

Asuhan dan konseling gizi bagi keluarga yang belum menerapkan perilaku gizi yang baik dan benar. Bertujuan meningkatkan kemandirian anggota keluarga dalam pelayanan gizi. Kegiatannya dapat berupa menyusun standar tata laksana asuhan dan konseling gizi, melaksanakan kegiatan asuhan dan konseling gizi di setiap sarana pelayanan kesehatan, melaksanakan kegiatan asuhan gizi melalui penyuluhan kelompok mengenai makanan padat gizi dari bahan lokal, melaksanakan kegiatan asuhan dan konseling gizi secara profesional.

Kampanye keluarga mandiri sadar gizi. Bertujuan meningkatkan kepedulian keluarga untuk selalu menerapkan perilaku gizi yang baik dan benar. Kegiatannya dapat berupa pengadaan bahan-bahan KIE (Konseling, Informasi dan Edukasi) lokal, pesan-pesan Kadarzi melalui kelompok kesenian tradisional, pesan-pesan Kadarzi melalui media cetak dan elektronik.

Pelaksanaan program ini perlu dilakukan pengukuran secara komprehensif dengan melakukan evaluasi program. Adapun evaluasi program tersebut terdiri dari input yakni ketenagaan (jumlah dan kualitas), dana, fasilitas dan sarana pelayanan kesehatan dll. Proses yakni menilai pelaksanaan kegiatan apakah telah mencapai target yang ditetapkan, mengidentifikasi kendala dan masalah yang dihadapi serta pemecahannya. Output menilai pencapaian setiap kegiatan penanggulangan gizi makro. Impact menilai prevalensi status gizi pada sasaran.

(Penulis adalah peneliti dan dosen Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana)

Tidak ada komentar: